Jebakan WhatsApp Berujung Pengeroyokan Sadis: Dua Pemuda Gorontalo Tumbang, Polisi Dinilai Lamban dan Korban Dipermainkan Prosedur

Table of Contents




Gorontalo – Kasus pengeroyokan brutal yang menimpa dua pemuda Gorontalo kembali membuka luka lama tentang rapuhnya perlindungan negara terhadap korban kekerasan. Lebih dari sekadar aksi kriminal, peristiwa ini menelanjangi lambannya respons aparat dan dinginnya birokrasi hukum saat korban justru berada di ambang nyawa.

Dua pemuda asal Desa Lauwonu, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, Sahril Febriansyah Bagu (21) alias Epon dan Marvel Wartabone (18), diduga menjadi korban pengeroyokan terencana oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) di Kelurahan Ayula, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Kamis (25/12/2025) sekitar pukul 02.30 WITA.

Peristiwa bermula dari komunikasi melalui WhatsApp dengan seorang perempuan berinisial LH alias Lia. Undangan pertemuan yang terlihat biasa justru berakhir sebagai jalan menuju kekerasan. Setibanya di lokasi yang dikirimkan, korban tidak disambut sebagaimana mestinya, melainkan dihadapkan pada enam pria dewasa yang telah menunggu, sebuah fakta yang memperkuat dugaan bahwa pertemuan tersebut bukan kebetulan, melainkan jebakan.

Tanpa dialog dan tanpa peringatan, kekerasan pecah. Marvel mengaku dicekik dari belakang, sebuah serangan mendadak yang menunjukkan niat melumpuhkan. Ia berlari menyelamatkan diri sambil berteriak meminta pertolongan, namun teriakan korban di tengah pemukiman lenyap tanpa respons. Dalam situasi genting, Marvel hanya mampu mengirim pesan darurat ke grup WhatsApp keluarga, langkah spontan yang diduga menjadi satu-satunya alasan bantuan akhirnya datang.

Beberapa saat kemudian, keluarga tiba dan mendapati Sahril terkapar tak sadarkan diri, diduga akibat dihajar secara beramai-ramai. Dalam kondisi serius, Sahril dilarikan ke RS Otanaha dan kemudian dirujuk ke RS Aloe Saboe. Sementara itu, Marvel memilih langkah yang dijamin konstitusi: melapor dan meminta perlindungan aparat kepolisian.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di Pos Pengamanan Nataru Simpang Lima Taman Telaga, Marvel tidak mendapatkan penanganan darurat, melainkan diarahkan menghubungi 110, layanan yang ironisnya tidak memberikan respons. Dipingpong dari satu pintu ke pintu lain, Marvel akhirnya menuju Polda Gorontalo, berharap hukum hadir lebih tegas.

Harapan itu kembali kandas. Di ruang SPKT, Marvel disebut sebagai “korban ringan”, sehingga laporannya tidak dapat diterima. Alasannya administratif: tidak ada bekas luka mencolok dan korban utama belum bisa melapor karena belum ada hasil visum. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah korban harus tak bernyawa terlebih dahulu agar diakui negara sebagai korban kejahatan?

Di tengah tarik-menarik prosedur, kondisi Sahril justru semakin mengkhawatirkan. Keluarga kembali berhadapan dengan kenyataan pahit lainnya, BPJS tidak dapat diklaim karena status pasien umum. Tanpa jaminan biaya, keluarga terpaksa membawa Sahril keluar rumah sakit dalam kondisi belum pulih. Korban kekerasan pun kalah cepat dari urusan administrasi.

Barulah pada pukul 11.30 WITA, laporan resmi diterima di Polsek Tapa. Kasus ini kini dinyatakan dalam penanganan pihak kepolisian setempat. Namun fakta lanjutan kembali menyulut kemarahan publik: para terduga pelaku dikabarkan sempat mendatangi Polsek Tapa lebih dulu, namun karena laporan belum masuk, aparat disebut tidak memiliki dasar hukum untuk bertindak.

Ironi pun tak terelakkan: pelaku bergerak lebih cepat mengamankan diri, sementara korban harus berjuang dari rumah sakit ke kantor polisi hanya untuk diakui sebagai korban.

Kakak korban, Eca Bagu, menyampaikan kekecewaan mendalam. Ia mendesak aparat agar bertindak cepat, profesional, dan tanpa tebang pilih. “Kami tidak minta dikasihani. Kami menuntut keadilan. Jangan biarkan hukum hanya tegas di atas kertas, tapi lemah saat rakyat membutuhkan,” tegasnya.

Kasus ini bukan sekadar catatan kriminal. Ia adalah alarm keras tentang bagaimana korban kekerasan bisa terpinggirkan oleh prosedur, diabaikan oleh lambannya respons, dan dipaksa bertahan sendiri dalam sistem yang seharusnya melindungi. Kini publik menanti satu hal: apakah hukum akan hadir tepat waktu, atau kembali datang terlambat setelah keadilan lebih dulu hancur (*) 

Tak-berjudul81-20250220065525