Cagar Alam Dengilo Dijarah Tambang Ilegal: Nama Yayan dan Pace Mencuat, Negara Diuji Hadapi Kejahatan Lingkungan Berlapis
Pohuwato — Cagar Alam (CA) Dengilo di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan ekosistem, kini berada di ambang kehancuran. Aktivitas tambang ilegal diduga menjadi biang utama rusaknya kawasan konservasi tersebut, ditandai dengan pembabatan hutan dan pengerukan tanah tanpa izin.
Informasi yang dihimpun dari warga setempat menyebutkan bahwa praktik tambang ilegal di kawasan cagar alam itu telah berlangsung dalam beberapa waktu terakhir. Aktivitas tersebut dilakukan secara terang-terangan, seolah tanpa rasa takut terhadap hukum yang secara tegas melarang segala bentuk eksploitasi di kawasan konservasi.
Dalam perkembangan terbaru, dua nama yakni Yayan dan Pace mencuat dan diduga terlibat langsung dalam aktivitas perusakan CA Dengilo. Meski demikian, dugaan tersebut masih memerlukan pembuktian hukum dan klarifikasi dari pihak-pihak terkait.
Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya bersifat kasat mata, tetapi juga mengancam masa depan lingkungan dan keselamatan warga. Aktivitas tambang ilegal di kawasan cagar alam berpotensi memicu bencana ekologis serius, seperti banjir dan longsor, serta merusak sumber mata air yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat sekitar.
Kondisi ini memicu tanda tanya besar di tengah publik: di mana pengawasan negara? Masyarakat mendesak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun ke lapangan, menghentikan seluruh aktivitas ilegal, serta menindak tegas para pelaku tanpa pandang bulu.
“Cagar alam adalah kawasan yang dilindungi undang-undang. Jika benar dirusak oleh tambang ilegal, ini bukan pelanggaran biasa, tapi kejahatan serius terhadap lingkungan dan generasi mendatang,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Secara hukum, perusakan Cagar Alam Dengilo berpotensi menjerat pelaku dengan hukuman berlapis. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perusakan kawasan cagar alam melanggar Pasal 21 ayat (2) dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp200 juta, yang dapat diperberat jika dilakukan secara terorganisir atau menggunakan alat berat.
Selain itu, aktivitas tambang tanpa izin di kawasan konservasi melanggar UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, khususnya Pasal 158, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Tak berhenti di situ, jika terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, pelaku juga dapat dijerat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana 3 hingga 10 tahun penjara serta denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar, atau pidana karena kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 99.
Dengan demikian, tambang ilegal di Cagar Alam Dengilo merupakan kejahatan berlapis: kejahatan konservasi, kejahatan pertambangan, dan kejahatan lingkungan hidup sekaligus. Hukuman dapat diperberat jika melibatkan aktor intelektual, cukong, dilakukan berulang, atau terdapat unsur pembiaran oleh oknum tertentu.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak media masih berupaya menghubungi Yayan dan Pace untuk memperoleh klarifikasi resmi terkait dugaan keterlibatan mereka. Redaksi juga terus mengupayakan konfirmasi dari BKSDA serta aparat penegak hukum guna mengetahui langkah konkret dan perkembangan penanganan kasus yang dinilai mencoreng wajah penegakan hukum lingkungan di Gorontalo tersebut. (rey)


