Surat Pernyataan “Tak Keberatan” Jadi Tameng Hukum? — Aksi Gaspoll di Polres Pohuwato Pertanyakan Prosedur Penanganan Kasus Bulangita
Pohuwato — Pada Selasa (4/11/2025), gabungan ormas yang tergabung dalam Aliansi Gaspoll menggelar aksi damai. Aksi dimulai dari kantor Bupati Pohuwato dan diterima langsung oleh Wakil Bupati Iwan S. Adam. Selanjutnya massa bergerak menuju kantor DPRD Pohuwato dan diterima oleh Wakil Ketua DPRD, sebelum akhirnya mengakhiri rangkaian aksi di Polres Pohuwato.
Di Polres Pohuwato, massa diterima oleh Wakapolres Pohuwato Kompol Heny Mudji Rahayu, S.H didampingi Kasi Humas Bripka Aqim, Kasat Intel, Kasat Reskrim Pohuwato AKP Khoirunnas, S.I.K., M.H, Kabag Ops, dan sejumlah personel Polres lainnya.
Wakapolres membuka ruang dialog dan mempersilakan perwakilan massa berdiskusi di ruang SPKT. Dalam dialog tersebut, koordinator aksi menyoroti persoalan paling krusial: tragedi beberapa hari lalu di lokasi tambang emas ilegal (PETI) Desa Bulangita, Kecamatan Marisa, yang menewaskan dua warga.
Aliansi Gaspoll mendesak agar pemilik lokasi tambang, Ferdi Mardain, segera ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.
Namun alih-alih menunjukkan progres konkrit, Kasat Reskrim AKP Khoirunnas, S.I.K, M.H menjawab dengan menjelaskan bahwa penetapan tersangka tidak bisa dilakukan tanpa bukti yang kuat. Ia juga menyebut bahwa tim Polres telah mendatangi keluarga korban dan pihak keluarga telah menandatangani surat pernyataan tidak keberatan sekaligus menolak autopsi.
Jawaban ini memantik pertanyaan besar di tengah massa: Apakah surat pernyataan keluarga dapat menggugurkan tindak pidana?
Jika ya, maka apa posisi hukum negara?
Jika tidak, mengapa justru itu yang dijadikan argumen kunci?
Massa aksi menilai bahwa argumentasi tersebut justru membuka ruang kecurigaan, bahwasanya ada “rem tangan” yang bekerja dalam kasus ini.
Kasat Reskrim secara resmi membantah adanya tekanan atau pembungkaman dari pihak manapun. Kendati demikian, Ia menegaskan bahwa timnya akan terus menelusuri dan mendalami kasus ini.
Namun pada titik ini, publik kini menuntut jawaban yang tegas dan berbasis fakta, bukan penjelasan standar prosedur.
Aksi Gaspoll pada hari ini menegaskan kembali satu pesan:
Proses hukum tidak boleh tunduk pada “surat pernyataan keluarga”.
Sebab hukum berdiri atas asas negara, bukan atas rasa sungkan. (***)


