Keluarga Pasien Tertahan di RSUD Kota Tangerang karena Tak Mampu Bayar Persalinan
RNN.com - Tangerang, 13 Juni 2025 — Kisah memilukan dialami oleh Adam, seorang pedagang tahu gejrot di Kota Tangerang, yang tidak dapat membawa pulang istrinya dan bayi yang baru dilahirkan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tangerang akibat ketidakmampuan membayar biaya persalinan yang ditaksir mencapai hampir Rp10 juta.
Dalam pernyataannya kepada sejumlah jurnalis, termasuk Titikkata, pada Jumat (13/6), Adam mengaku telah berusaha mencari bantuan keuangan, termasuk mengajukan itikad baik untuk membayar sebagian biaya, namun permohonannya tidak dikabulkan pihak rumah sakit.
“Intinya masalah keuangan, saya sudah coba pinjam ke sana ke sini, tapi tetap tidak cukup. Bahkan saat saya minta bayar setengahnya dulu, tidak bisa. Saya merasa tertekan, harus bayar penuh. Saya harus minta tolong ke siapa lagi?” keluh Adam, yang saat ini masih tertahan di rumah sakit bersama istri dan bayinya.
Adam juga menjelaskan bahwa dirinya sempat mencoba mengurus kepesertaan BPJS Kesehatan agar biaya persalinan dapat ditanggung. Namun, upaya tersebut gagal karena rumah sakit menilai batas waktu pengajuan klaim BPJS telah lewat.
“Surat pengantar dari rumah sakit sudah saya bawa ke kampung, tapi tidak bisa diurus. Sekarang saya pindah ke Kota Tangerang, baru hari ini BPJS-nya bisa diproses. Tapi tetap saja, pihak rumah sakit menyatakan sudah tidak bisa digunakan karena batas waktu klaim sudah habis,” ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Humas RSUD Kota Tangerang, dr. Fika, menyatakan bahwa tindakan rumah sakit sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku, merujuk pada Permenkes Nomor 28 Tahun 2014. Menurutnya, pasien yang tidak dapat menunjukkan identitas serta kepesertaan aktif JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dalam batas waktu yang ditentukan akan dikategorikan sebagai pasien umum.
“Pasien masuk hari Minggu, dan Senin adalah tanggal merah. Kami beri waktu hingga Kamis, namun hingga saat ini belum ada kepastian status JKN-nya. Kami hanya mengikuti peraturan. Pasien telah menandatangani surat kesanggupan membayar sebagai pasien umum,” jelas Fika.
Terkait tudingan penolakan terhadap permintaan pembayaran setengah dari total biaya, Fika membantah adanya penolakan. Ia menyebut bahwa sistem pembayaran harus mengacu pada SOP dan setiap kasus akan dikonsultasikan lebih lanjut ke bagian keuangan untuk pertimbangan kebijakan.
“Kami tidak menolak, namun semua berjalan sesuai SOP. Jika ada permasalahan, akan kami tampung dan koordinasikan ke Kasubag Keuangan untuk penanganan lebih lanjut. Kami juga membutuhkan informasi dari keluarga pasien terkait kemampuan pembayaran,” ujarnya.
Kasus ini pun menyoroti peran negara dalam menjamin hak kesehatan warga miskin, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Publik berharap agar ada intervensi nyata dari pemerintah dan instansi terkait agar tidak ada lagi warga tidak mampu yang tertahan di rumah sakit karena masalah biaya.(Supriyadi)