PA GMNI: Rule of Ethics Harus Dipedomani dalam Bernegara
RNN.com - Jakarta – Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI), Arief Hidayat, mengingatkan bahwa hukum memiliki kelemahan, sehingga aturan etika atau Rule of Ethics harus menjadi pedoman utama dalam bernegara. Hal ini disampaikannya dalam dialog nasional bertajuk Etika Bernegara Pancasila yang digelar di kantor DPP GMNI Jakarta pada Sabtu (22/3/2025).
"Seolah-olah sekarang ini kalau seseorang sudah mematuhi hukum, maka semuanya sudah selesai. Padahal di balik itu ada Rule of Ethics yang harus kita pegang teguh sebagai nilai luhur dalam kehidupan berbangsa," ujar Arief dalam pidatonya.
Ia menambahkan bahwa hukum dan undang-undang merupakan hasil dari kepentingan politik, sehingga tidak ada regulasi yang sepenuhnya ideal. Oleh karena itu, etika harus tetap dijunjung tinggi agar hukum yang memiliki kelemahan tidak melenceng dari moralitas yang lebih tinggi.
Selain itu, Arief menyoroti fenomena di beberapa negara Eropa yang cenderung non-religius tetapi lebih tertib dan minim korupsi. Sementara di Indonesia, yang dikenal sebagai negara religius, justru banyak terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, hingga maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Skandal Etika dan Krisis Demokrasi
Dalam kesempatan yang sama, pengamat kebinekaan Sukidi menilai bahwa Indonesia tengah terjerumus dalam ethics scandal atau skandal etika yang ditandai dengan maraknya KKN. Menurutnya, praktik korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan bernegara dan semakin ditoleransi oleh masyarakat.
"KKN sudah menjadi habit dan korban utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah, sementara pelakunya adalah mereka yang berdasi," tegas Sukidi.
Senada dengan hal itu, Gubernur Lemhannas 2016–2022, Letjen (Purn) Agus Widjojo, mempertanyakan apakah masyarakat siap menerima situasi ini sebagai new normal. Jika dibiarkan, kondisi ini dinilainya tidak akan sesuai dengan semangat para pendiri bangsa dalam Pancasila.
Sementara itu, guru besar emeritus STF Driyarkara, Romo Franz Magnis Suseno, menyoroti bahwa sejak reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran akibat pengaruh oligarki.
"Para politisi tidak lagi melayani rakyat, tetapi hanya mencari kesempatan memperkaya diri," ujarnya. Ia juga menilai bahwa DPR saat ini lebih banyak dikuasai oleh dinasti politik dan kelompok kaya, sehingga kekuatan oposisi semakin melemah.
Sebagai solusi, Romo Magnis menegaskan bahwa Indonesia harus mengembalikan sistem kekuasaannya kepada prinsip demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Ia juga menilai bahwa Pancasila adalah aset luar biasa yang berhasil menyatukan Indonesia sebagai negara majemuk yang memiliki beragam etnis dan agama.
"Pancasila telah menyelesaikan masalah identitas yang di banyak negara lain justru menjadi sumber konflik," tandasnya.
Dialog nasional ini menjadi momentum bagi para pemikir dan tokoh nasional untuk kembali menegaskan pentingnya etika dalam menjalankan pemerintahan serta mengembalikan demokrasi kepada cita-cita luhur bangsa.
(Supriyadi)