Diskusi Nasional: Etika Bernegara dan Tantangan Demokrasi

Daftar Isi
RNN.com
- Dalam kehidupan bernegara, partisipasi masyarakat harus menjadi pilar utama dalam membangun bangsa. Partisipasi ini bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi juga sebagai solusi kebangkitan nasional. Hal ini menjadi topik utama dalam diskusi nasional mengenai etika bernegara yang dihadiri oleh berbagai tokoh dan disampaikan kepada awak media.

Salah satu poin penting yang diangkat dalam diskusi adalah mengenai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Para pembicara menegaskan bahwa KKN merupakan akar dari kerusakan bangsa dan harus diberantas hingga ke akarnya. Selama ini, pemberantasan korupsi sering kali dilakukan dengan penegakan hukum yang tidak merata (selective enforcement), yang mengakibatkan ketidakadilan dan tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk memastikan bahwa pemberantasan korupsi dilakukan secara adil dan menyeluruh.

Kontroversi RUU TNI dan Kekhawatiran Terhadap Demokrasi

Diskusi juga menyoroti gelombang penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi pelemahan profesionalisme TNI dalam konteks ketahanan negara. Jika TNI dilibatkan dalam jabatan-jabatan sipil, hal ini dikhawatirkan tidak hanya akan melemahkan institusi militer itu sendiri, tetapi juga mengancam semangat reformasi yang bertujuan membangun supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.

Selain itu, beberapa pembicara juga menyoroti kemungkinan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari tren otoritarianisme yang ditopang oleh kekuatan militer. Dalam sejarah dunia, negara otoriter sering kali bergantung pada militer untuk mempertahankan kekuasaan, yang pada akhirnya merusak sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri republik. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan militer dan supremasi sipil demi menjaga demokrasi tetap hidup.

Teror Kepala Babi dan Ancaman terhadap Kebebasan Pers

Diskusi juga membahas insiden teror kepala babi yang diterima oleh redaksi Tempo, yang dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers. Salah satu pembicara mengingatkan bahwa tindakan semacam ini mirip dengan strategi manajemen teror yang digunakan di Jerman pada tahun 1920-an di bawah kepemimpinan Hitler.

Politik teror adalah bentuk intimidasi yang digunakan untuk membungkam kritik dan menundukkan lawan-lawan politik. Oleh karena itu, para peserta diskusi menegaskan bahwa tidak ada jalan lain kecuali melawan segala bentuk teror. Teror semacam ini menandakan bagaimana otoritarianisme bekerja, dengan menciptakan politik ketakutan yang menekan mereka yang bersikap kritis terhadap kekuasaan.

Sebagai penutup, para pembicara menegaskan bahwa Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai demokrasi yang sejati, berdasarkan Pancasila dan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat. Seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta:

"Pujian tidak memberi petunjuk, tetapi keberanian untuk mengungkapkan kesalahan demi kesalahanlah yang akan membimbing bangsa ini ke jalan yang benar."

Dengan semangat ini, diharapkan bangsa Indonesia dapat terus menjaga demokrasi dan melawan segala bentuk ancaman terhadap kebebasan berpendapat. (win)

Tak-berjudul81-20250220065525
dr-H-Syarif-Hidayatulloh-Sp-B-FICS-AIFO-K-DIRUT-RSUD-LOMBOK-TIMUR-20250219-201701-0000-1