Miris, Maksud Merelai, Berujung Hak Kemerdekaan Dirampas Di Polsek Makassar
Daftar Isi
Sulawesi Selatan
RNN.com | Makassar - Miris, perayaan ulang tahun yang seharusnya menjadi momen bahagia, kini berubah menjadi mimpi buruk bagi seorang warga. Bermaksud merelai, berujung kemerdekaan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dirampas di kepolisian sektor (Polsek) Makassar.
Pasalnya insiden pengeroyokan brutal yang terjadi pada acara ulang tahun Bapak Sammy Resal ke-53 berujung pada penangkapan yang mengejutkan! Udin, seorang pria yang berniat melerai pertikaian, malah ditahan oleh pihak kepolisian.
Ironisnya, para pelaku pengeroyokan, AN dan PT, dibiarkan bebas tanpa tindakan hukum lebih lanjut oleh pihak kepolisian.
Melalui Kuasa hukum Hady Sutrisno, SH., selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Mitra Indonesia Mandiri (MIM) Makassar menyampaikan sesuai ungkapan Ayu panggilan akrab istri dari Udin seorang warga yang hak kemerdekaannya dirampas di Kepolisian sektor (Polsek) Makassar, Jumat 6/9/2024.
Bermula kejadian pada 31 Agustus 2024, tepatnya pukul 01:10 WITA di Lorong Santaria, Kelurahan Bara-Barayya, Kecamatan Makassar. Saat itu suasana di acara ulang tahun berlangsung hangat dan penuh keceriaan dan bahagia.
Namun, suasana tersebut berubah, tatkala pelaku AN, mantan istri seorang warga bernama Udin, yang datang bersama keponakannya PT, tiba-tiba menyerang seorang tamu bernama Sumaryati (26), yang akrab disapa Ayu.
Menurut saksi mata, Riska Wati Prastika, Ayu yang sedang duduk di kursi mendadak ditarik rambutnya oleh pelaku AN hingga jatuh terbalik. Tidak cukup sampai di situ, PT mengambil batu besar dan melemparkannya ke arah Ayu, menghantam kakinya. “Jika tidak segera ditolong, nyawa Ayu bisa saja terancam,” ungkap Riska.
Lain halnya, yang paling mencengangkan terjadi saat polisi tiba di lokasi setengah jam kemudian. Bukannya menangkap pelaku utama, AN dan PT, mereka malah membawa Udin ke kantor polisi. Udin, yang saat itu hanya berusaha melerai keributan, langsung ditahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan polisi tersebut memicu kebingungan dan kemarahan di kalangan saksi serta keluarga korban.
Hady Sutrisno, SH., seorang pengacara yang membela Ayu, mengecam keras tindakan oknum kepolisian yang dinilai tidak adil. “Ini benar-benar tidak masuk akal! Udin hanya melerai, sementara pelaku yang jelas-jelas melakukan pengeroyokan dibiarkan bebas. Kami sudah menyerahkan surat visum untuk Ayu, tapi hingga saat ini, belum ada pemanggilan terhadap pelaku pengeroyokan. Ini jelas-jelas tindakan diskriminatif,” tegas Hady.
Pada akhirnya, perkara tersebut dinilai miris dan mendapat sorotan keras dan tajam, sehingga pertanyaan besar mengenai integritas penegakan hukum di Makassar. "Mana mungkin seorang yang hanya berniat menghentikan kekerasan menjadi tersangka, sedangkan pelaku pengeroyokan tetap bebas berkeliaran?", ungkap Hady dengan nada kecewa bercampur tanda tanya ada apa ? penegakan hukum.
“Apakah ini yang disebut presisi dalam penegakan hukum yang sering didengungkan oleh Kapolri?”, lanjut Hady Sutrisno, SH., dengan nada kecewa. “Kenapa Udin harus menanggung akibat dari niat baiknya? Kami mendesak agar keadilan untuk Udin dan Ayu segera ditegakkan!”.
Masyarakat dan para aktivis hak asasi manusia turut bereaksi keras terhadap insiden ini. Mereka melihat adanya kejanggalan serius dalam proses hukum yang sedang berjalan. Banyak pihak yang mempertanyakan kenapa AN dan PT belum ditahan, sementara bukti pengeroyokan sangat jelas di depan mata.
Riska, yang menjadi saksi kunci di lokasi, menegaskan bahwa Udin tidak melakukan pemukulan sama sekali. “Saya melihat langsung AN dan PT melakukan pengeroyokan. Ayu hanya meminta tolong, sementara Udin hanya berusaha melerai,” ungkap Riska kepada media.
Kini, masyarakat Makassar bertanya, apakah ini akan menjadi perkara yang mengungkap ketidakadilan terbaru, di mana korban malah menjadi tersangka? Udin kini mendekam di balik jeruji besi, sementara pelaku pengeroyokan masih bebas berkeliaran. Kejadian ini menjadi sorotan tajam publik yang menuntut adanya keadilan yang sesungguhnya.
Sampai kapan hukum akan terus buta terhadap kebenaran dan keadilan?
Oleh : Rahmat Hidayat